> Untaian Mutiara Hikmah : Juli 2013

Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2013

Untaian Hikmah Ibnu Atha'illah Assakandari ( 5 )

اجتهادك فيما ضمن وتقصيرك فيما طلب منك دليل على  انطماس البصيرة منك

" Adapun bersungguh-sungguhnya kamu untuk memperoleh apa-apa yang telah dijamin untuk kamu, sedangkan kamu gegabah dalam urusan kewajiban yang telah dituntut darimu (dari berbagai toat), adalah menunjukkan buta mata hatimu dalam dirimu "

اجتهادك فيما ضمن لك أي تكفل الله لك به وهو الرزق تفضيلا منه وإحسان  قال تعالى وكأين من  دآبة لاتحمل رزقها وإياكم وغير ذلك من الأيات وتقصيرك فيما طلب منك وهو العمل الذي تتوصل به عادة إلى مولك من أذكار وصلوات وأوراد وغير ذلك من أنواع الطاعات

Adapun sungguh-sungguhnya usahamu pada perkara yang telah dijamin untukmu, yakni Allah telah menanggung untukmu dalam perkara tersebut, yang dimaksud perkara disini yaitu dalam urusan rezeki yang merupakan anugrah dari Allah, serta kebaikan da
ri Allah. Telah berfirman Allah ta'ala "Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu (Qs 29 Al-'Ankabuut: 60)" dan juga yang lainnya, dari berbagai ayat. sedangkan kamu gegabah dalam urusan yang telah dituntut daripadamu. Adapun urusan yang telah dituntut daripadamu adalah AMAL yang akan menyampaikan (dengan amal tersebut, menurut adat kebiasaan) kepada tuanmu (maksudnya Allah) dari rupa-rupa dzikir dan rupa-rupa sholat dan rupa-rupa aurod dan selain yg telah diceritakan tadi dari berbagai jenisnya ketaatan.....

قال تعالى وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون الأية
فالمطلوب من المريد السعي في قوت الأرواح وهو ذكر المولى وفعل ما يقرب إليه لاقوت الأشباح لأنه قائم به غيره وهو مولاه دليل على انطماس أي عمي البصيرة منك وهي عين في القلب تدرك الأمور المعنوية كما أن البصر يدرك الأمور المحسوس

Telah berfirman Allah ta'ala "Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs 51 Adz-Dzaariyaat: 56)". Maka perkara yang dituntut dari seorang MURID adalah berjalan FI QUTIL ARWAH (dalam kekuatan Ruh). Yang namanya QUTUL ARWAH yaitu dzikir kepada Allah dan melakukan hal-hal yang mendekatkan diri kepadaNya. Bukanlah dengan QUTUL ASYBAH (kekuatan badan), karena sesungguhnya kekuatan badan ada seseorang yg menanggung atas kekuatan badan tersebut yaitu selainmu, adapun seseorag yang selainmu itu adalah tuannya si MURID (maksudnya robb-nya si MURID), pertanda BUTA, yakni buta BASHIROH (yang datang) daripada dirimu. Yang namanya BASHIROH adalah mata yang berada didalam qolbu, ia akan menemukan berbagai perkara  maknawiyah, sebagaimana bahwa BASHOR (mata kepala) dapat menemukan berbagai perkara yang MAHSUSAH (dapat dilihat oleh mata kepala)

وفي تعبيره بالإجتهاد إشارة أن طالب الزق من غير إجتهاد لابأس به للمريد ولا يدل على انطماس بصيرته

Untuk selanjutnya. Mushonnif dalam meberikan tamsil dengan menggunakan lapad IJTIHADU adalah satu petunjuk bahwa mencari rizki dengan sikap yang wajar, maka tidaklah berbahaya bagi si MURID, serta tidak meunjukan atas buta BASHIROH-nya si MURID....


Dalam hikmah ini mushonnif menerangkan mengenai tidak pantasnya seorang MURID mengerahkan pikiran dan perjuangannya dipakai untuk memikirkan urusan yang telah ditanggung-jawab oleh Allah serta gegabah dalam melaksanakan peraturan ibadah, hal ini menunjukan kebutaan mata hatinya...


Mengerahkan pikiran dan perjuangan seharusnya disalurkan untuk mengabdi kepada Allah dari berbagai ketaatan yang akan menghasilkan keselamatan serta kebahagian di dunia dan akhirat. Ketaatan kepada Allah keberadaanya sangatlah dirahasiahkan, oleh karenanya memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh dalam mengahadapi tantangannya, sedangkan urusan dunia yang telah ditanggung-jawab oleh Allah mengenai rizki yang menjadikan bahan kekuatan untuk bertahan hidup tidaklah perlu khawatir, karena untuk menghasilkannya tidak memerlukan pikiran dan perjuangan yang sungguh-sungguh dalam menghadapi tantangannya, malahan sikap seperti ini akan menolongnya....
  

Selasa, 30 Juli 2013

Untaian Hikmah Ibnu Atha'illah Assakandari ( 4 )

أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك لاتقوم به لنفسكTenangkanlah nafsumu (keinginanmu) dari urusan tadbir (yakni bersusah-payah dan merasa risau di dalam mengatur keperluan-keperluan hidup) karena apa yang diatur tentang urusan dirimu oleh selainmu , tidak perlu engkau campur tangan (yakni janganlah engkau mendirikannya pula untuk dirimu sendiri)أرح نفسك أيها المريد من التدبير لأمر دنياك وهو أن يقدر الشحص في
نفسه أحولا يكون عليهاعلى ما قتضيه شهوته ويدبرلها ما يليق بها من الأحوال وأعمال ويهتم لأجل ذلك وهذا تعب عظيم إستعجله لنفسه ولعل أكثر ما يقديره لايقع فيخيب ظنه وفي تعبيره  بأرح إشارة إلى أن المطلوب تركه للمريد هو ما فيه تعب ومعانة

Tenangkanlah nafsumu (keinginanmu) wahai murid... dari urusan TADBIR (yakni bersusah-payah dan merasa risau di dalam mengatur keperluan-keperluan hidup) atas urusan duniamu. Dan, adapun TADBIR adalah mengira-ngira seseorang dalam dirinya atas berbagai tingkah yang terbukti atas tingkat tersebut sesuai dengan perkara yang mendorong- syahwatnya. Dan mengatur atas tingkah terhadap perkara yang layak dengan syhwat tersebut dari berbagai tingkah serta berbagai amal, maka akan menemukan kebingungan (kesulitan) karena arah-arah TADBIR. Adapun yang diceritakan tadi adalah TA'IBUN ADHIMUN (kecapean yang sangat melelahkan) yang menyegerakan (mendorong) terhadap nafsumu, dan nyata sekali kebanyakan sangkaanya tidak akan berhasil, maka rugilah sangkaan tersebut. 
Adapun dalam memberi ibaratnya (mushonnif) dengan menggunakan lapad "ARIH" adalah satu petunjuk untuk seorang MURID, bahwa sesungguhnya perkara yang mesti dicari adalah meninggalkan TADBIR, sedangkan TADBIR tersebut didalamnya menyimpan kecapean yang luar biasa yang sangat melelahkan.....TADBIR: mengatur keperluan-keperluan untuk tegaknya hidup seseorang, Tadbir setengahnya dari MA'ISYAH (tatacara berniaga), seperti dalam sabdanya Nabi:

قال صلى الل عليه وسلم : التدبير نصف المعيشة

Adapun TADBIR adalah setengahnya dari MA'ISYAH
Oleh karena itu, Dalam uraian ini mushonnif akan memperjelas hikmah sebelumnya, yakni tingginya cita-cita serta pesatnya pikiran dan juga pesatnya keinginan, tidak akan mampu membelah ketentuan Allah yang diserupakan dengan benteng yang kokoh, oleh karenanya bagi si MURID tidak perlu menghabiskan pikiran serta memusatkan cita-cita untuk menghasilkan urusan dunia yang melupakan kepada Alloh, serta melelahkan pikiran, lantaran sudah ditanggung-jawab oleh Allah. Oleh karenanya perkara yg telah ditanngung-jawab oleh Alloh seharusnya bagi seorang MURID tidaklah perlu ikut campur, seperti orang tua yang menyekolahkan anaknya, yang telah dicukupkan keperluan untuk sekolahnya, tidak perlu seorang anak ikut campur memikirkan dan mencari uang hingga melupakan belajar....


أماتدبير أمور معاشه على وجه سهل يستعين به على مطلوبه فلابأس به ولذا ورد التدبير نصف المعيشة  فما قام به غيرك عنك لاتقوم به لنفسك يعني أن الأمر مفروغ منه إذ قد قام به غيرك وهو الله تعالى وماقام به غيرك لافائدة في قيامك به فيكون قيامك فضولا

Adapun mengatur atas kehidupan si MURID dengan melalui perjalanan yang mudah (simple) akan menolongnya atas TADBIR tersebut, maka tidak berbahaya bagi si MURID, oleh karenanya maka datang TADBIR tesebut dari setengah kehidupan. Maka apapun yang diatur tentang urusan dirimu oleh selainmu untuk dirimu, tidak perlu engkau campur tangan (yakni janganlah engkau mendirikannya pula untuk dirimu sendiri). Mempertegas (mushonnif) "sesungguhnya berbagai urusan berada dalam kelengkapan (beres) dari perkara tersebut", karena sesungguhnya telah mengatur atas perkara tersebut oleh selain dirimu, yakni dialah Allah ta'ala, dan tidaklah bermanfaat dalam pengaturanmu atas perkara tersebut, maka terbukti pengaturanmu itu adalah sikap yang berlebihan.....
Jadi, Seorang MURID yang sedang berbakti kepada Allah, serta rizkinya telah ditanggung-jawab olehNya, maka tidak perlu sungguh-sungguh dalam berpikir yang mengakibatkan kecapean dan kerepotan serta melupakan cita-cita ingin wushul kepada Alah....


Adapun untuk memperoleh kurnia Allah, hal seperti itu bahkan diperintah olehNya:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

(Qs 62 Al-Jumu'ah: 10)
Oleh karenanya, dalam berusaha mencari kurnia Allah, semata-mata melaksanakan aturan dan perintahNya, dan juga mencari ridlonya, sedangkan hasil dan tidaknya Si MURID mesti berusaha sabar, ikhlas dan juga tawakkal kepada Allah yg menentukan jalan kehidupan si MURID.....
لاينبغي أن يلتبس به ذو العقول وأيضا فيه ترك العبوديه ومضاة لأحكام الربوبية ومنازعة القدر وإنما خاطب المريد بذلك لأنه إذا توجه لحضرة الرب واشتغل بأوراد الطريق وأعماله تعطلت عليه أسباب معاشه في الغالب فيأته الشيطان ويوسوس له ويصير
يدبر في نفسه أمورا لايقع أكثرها


Tidak perlu keliru (salah langkah) bagi yang punya akal atas sesuatu perkara. Lagi pula dalam perkara tersebut tersirat meninggalkan UBUDIYAH, serta menentang terhadap hukum-hukum ketuhanan yang mengatur, serta menentang taqdir. 
Dan, sesungguhnya yang dicerahahi hikmah tadi adalah atas diri si MURID, karena sesungguhnya tatkala si MURID menghadap ke HADROTUR ROBBI (hadapan robb), dan sibuk oleh berbagai aurod perjalanan, dan berbagai amal-amalnya, maka kosong bagi si MURID berbagai ASBAB MA'ISYAH dalam keumumannya. 
Maka akan datang setan, dan membisikan atas si MURID, maka terjadi atas diri si MURID mengatur dirinya si MURID atas setiap perkara, maka mengaturnya tersebut pada umumnya tidak akan didapatinya....

UBUDIYAH: maksud ubudiyah disini yaitu seluruh anggota badan yang keluar dari rahim Ibu, yg membentang bagaikan mayit, atau pribadi yang wajib dibuktikan kepada Allah....

و ذلك يشغله عما هو بضدده فيرجع عما هو مثوجه له ودواء ذلك كثرة الذكر والرياضة حتى يرجع عنه الشيطان وتحصل له الراحة من تعب التدبير

Nah... perihal yang telah diceritakan diatas tadi adalah suatu perkara yang menyibukannya dari perkara, yakni yang dinamakan PERKARA disini adalah PERLAWANAN-nya PERKARA, MAKA bagi si MURID mesti kembali dari perkara yang menghadap perkara tersebut atas si MURID. Adapun obatnya PERKARA (maksudnya, sesuatu yang menjadi perlawanannya si MURID) adalah memperbanyak dzikir serta latihan sehingga menjauh si setan dari dirinya si MURID. Nah...kalau demikian maka bakal hasil bagi si MURID satu kesenengan dari lelahnya ngatur....
 

Senin, 29 Juli 2013

Untaian Hikmah Ibnu Atha'illah Assakandari ( 3 )

سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار

 
Kerasnya semangatmu (sawabiqu al-himam) tidak akan mampu menembus DINDING taqdir Allah (aswar al-aqdaar)

سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار هذه الحكمة لما قبله وتصله أيضا لما بعدها كأنه قال إرادتك أيها المريد خلاف ما أراده مولك لاتجدى نفعا لأنه إذا كانت سوابق الهمم أي الهمم سوابق سريعة التأثير في الأشياء وهي قوي النفس التي تنفعل عنها الأشياء


Adapun beraneka ragam pesatnya kecepatan rasa ingin yang menggebu, yang diibaratkan seperti pesatnya laju kuda, tidak akan mampuh membelah berbagai bentengnya taqdir. 
Hikmah ini menjelaskan atas hikmah sebelumnya, dan juga pantas atas hikmah sesudahnya. (ka'annahu) Telah berkata mushonnif (iridatukal murid... ileh) "Adapun keinginanmu hai MURID - bertentangan atas sesuatu perkara yang telah dikehendaki (ditetapkan) oleh Allah maka tidak akan menemukan kemanfaatan. Karena sesunggunya tatkala terbukti pesatnya keinginan, yakni keinginan yang kukuh, yakni tepatnya sasaran dalam setiap perkara, maka hal demikian adalah dahsyatnya nafsu yang akan terjadi olehnya setiap perkara....

Dalam hikmah ini mshonnif menjelaskan atas hikmah sebelumnya bahwa janganlah bersandar kepada amal, walaupun pesatnya amal yang dibarengi cita-cita yang tinggi tidak akan mampu membelah atas ketentuan Allah yang diserupakan dengan benteng yg kokoh.

Qodar yang ini adalah ketentuan Allah yang sesuai dengan ilmunya Allah, yaitu yang disebut QODLO MUBROM. Nah..., ketentuan seperti ini tidak akan berubah walaupun dengan pesatnya keinginan para Nabi atau para Wali atau yang lainnya, sekalipun mereka adalah orang-orang fasiq, paranormal, tukang sihir, tukang tenung dan lain sebagainya.

Dan, hikmah yang ini menitik-beratkan mengenai "AMRUN KHORIQUN LIL'ADAT" perkara yang mampuh membedah adat kebiasaan, bukan hanya sebarang keinginan.

وتكون للولي كرامة ويقال فعل كذا بهمته إذا وجهها إليه فووجد ولغيره كساحروالعائن إهانة لا تنفعل عنها  االأشياء إلالا بتدير الله تعالى أي بإذنه سبحانه

Dan terbukti (sawabiqul himam) atas Wali adalah KAROMAH (kehurmatan), maka apabila seorang Wali berbuat pada sesuatu tatkala dihadapkan dengan HIMMAH-nya, maka terbuktilah. Sedangkan selain Wali adalah tukang sihir dan tukang tenung (ramalan), bagi mereka adalah IHANAH (penghinaan). 
Tidak akan terjadi berbagai perkara dari (sawabiqul himam) kecuali dengan taqdir Allah ta'ala, yakni atas dasar izin Alloh subhanahu wa ta'ala....

"AMRUN KHORIQUN LIL'ADAT" atau perkara yang mampuh membedah adat kebiasaan,

● Kalau datangnya melalui cikal bakal Nabi disebut Irhash.

● Kalau datangnya melalui Nabi disebut Mu’jizat.

● Kalau datangnya melalui Wali disebut Karomah.

● Kalau datangnya melalui orang Mu'min disebut Ma'unah.

● Kalau datangnya melalui orang Fasiq atau orang Kafir disebut istidroj.
 
Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Asya’irah mendefinisikan qadha `:

إرادة الله الأشياء في الأزل علي ما هي عليه فيما لا يزال فهو من صفات الذات عندهم

Kehendak Allah pada segala sesuatu (mahluk) sejak zaman azali telah berlaku menurut keadaanNya pada waktu adanya Qadho’ dan tidak akan pernah berubah karena itu adalah termasuk sifat untuk dzat Allah menurut pemahaman ulama’ (al-Asya’irah).

Al-Asya’irah menguraikan pemahaman qodar sebagai berikut:

إيجاد الله الأشياء علي قدر مخصوص, ووجه معين, كما أراده الله, وهو من صفات الأفعال لأنه عبارة عن الإيجاد

Allah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran tertentu, bentuk tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah sedangkan Al-qodar merupakan sifat perbuatan Allah karena sesungguhnya ia diibaratkan sebagai penciptaan Allah semata .

Himmah itu merupakan keinginan nafsu dan lahir dari kemauan manusia yang dikategorikan dalam berbagai situasi antaranya:

- Ahli sufi menyatakan himmah seorang wali dari segi keyaqinannya yang kuat kepada Allah.

- Orang yang Beruzlah (bertapa / menyendiri) juga memiliki keinginan yang kuat  sbagai cara untuk penyucian jiwanya

- Ahli maksiyat juga memiliki kemauan yang jahat
Penyihir pula memiliki tipu daya yang licik.

Dalam pengertiannya himmah itu terbagi dua yaitu sughro (kecil) dan kubro (besar).

Himmah sughro :

Keinginan manunusia yang tunduk  dan patuh kepada ujian dan tantangan yang di alaminya sebagai syarat tercapainya suatu tujuan.

Himmah kubro :

Keinginan hati manusia yang berhubungan dengan Allah tanpa pemutusan / tanpa washithoh (lantaran) sebagai bukti keyaqinannya dalam penyujian diri dan batinnya semata-mata hanyalah allah yang ada , dan Orang-orang yang Anugrahi Himmah kubro selalu berpegang teguh bahwa seandainya tidak karena kehendak dan kuasa Allah atas suatu usaha maka ikhtiar tidak memberi bekas dan tidak memberi manfaat sama sekali.

Tegasnya al-qodar itu adalah ILMU ALAAH (ariif) yaitu ketetapan Allah swt yang telah ditentukan sejak Zaman azali Terhadap semua makhlukNya.

Al-qodar itu berjalan dengan ILMU Allah ta’ala sedangkan sifat ilmu itu adalah  salah satu dari sifat dari dzat Allah yang wajib bagiNya dan mustahil ALLAH tidak bersifat demikian. Dalam masalah ini Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:

إن سائلا قال يارسول الله ما الإيمان

Ketika ada Seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW:

Wahai Rasulullah Apakah  iman itu ?

 قال: هو أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخروتؤمن بالقدر خيره وشره, حلوه ومره من الله تعالي

Nabi menjawab: Iman adalah percaya bahwa engkau beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-Nya, para rasulNya, hari akhirat dan beriman kepada qodar Allah baik dan buruknya, manis atau pahitnya adalah datang dari ketentuan Allah.

Meskipun kita wajib beriman kepada qodha `dan qodar, kita wajib juga berbuat / meninggalkan dan berusaha untuk mencapai apa yang dicita-citakan dengan izin Allah SWT juga IMAN adalah mumalah Batin dan USAHA (ikhtiyar) adalah Muamalah lahir sebagai wujud Ibadah secara kemanusiaan.

Renungkan beberapa firman Allah berikut ini:

1- إنا كل شيء خلقناه بقد ر

 Sesungguhnya Kami (Allah) telah membuat sesuatu menurut ketentuanNya masing – masing. (Surat al-Qamar: 49)

2 – و ما هم بضا رين به من أحد إلا بإذن الله

Mereka tidak dapat menghildar / menghilangkan bahaya dari siapa pun kecuali dengan izin Allah SWT.

3 – لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا هو مولانا وعلي الله فليتوكل المؤ منينقل

Katakanlah! Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah kami dan Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman wajib bertawakkal. (Surat al-Taubah: 51) 

Untaian Hikmah Ibnu Atha'illah Assakandari ( 2 )

إِرَادَتُكَ الْتَّجْرِيْد- اي ميل نفسك ايها المريد الصادق الى التجريد عن الاسباب الظاهرية اي خروجك عنها وعدم معاناتها – مَعَ إِقَامَةِ الْلَّهُ إِيَّاكَ فِيْ الْأَسْبَاب مِنَ الْشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ

Yang di maksud dalam Matan Hikam yang kedua ini adalah Keinginan kamu menyerahkan semua pengharapan kepada Allah (tajrid) di saat ini Maksudnya adalah Wahai seseorang yang mengharapkan (murid / salik) Condongnya keinginanmu (nafsu) yang dibenarkan pada pengaharapanmu berpasrah diri pada allah disaat ini atas semua sebab-sebab perkara lahiriyah yang di harapkan oleh  syeikh ibnu athoillah di sini agar kiranya semua murid / salik agar setiap murid itu keluar dari mengharapkan hasil daripada sebab dan terlalu bergantung pada sebab yang intinya sebab itu adalah Ghoirullah (selain allah) karena teramat mustahil keinginanmu yang masih bergantung pada sebab dan akibat itu bisa besertaan disisi allah sedangkan rasa ketergantunganmu itu masih teramat kuat pada selain allah (sebab-akibat) itu masih termasuk seorang yang terjebaka pada halusnya syahwat yang tersembunyi.

 Mengenai maqam tajrid, terdapat dalam firmannya (dalam surat Al_Muzammil ayat 1-4) :

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ . قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا . نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا . أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا .

  1. Hai orang yang berselimut (Muhammad), 2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), 3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. 4. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

Mengenai maqam asbab, terdapat dalam firmannya (dalam surat al-Furqan ayat 20) :

بعضكم لبعض فتنة اتصبرون وكان ربك بصيرا وجعلنا  

20. dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.

 

 a. Maqom Tajrid

Maqam Tajrid adalah dirimu jauh untuk melaksanakan asbab (berinteraksi dengan manusia lain/bekerja) karena posisi dan kondisi mu itu menuntut untuk meninggalkannya.atau bisa di istilahkan Hablun min Allah.

Ciri-cirinya adalah dirimu sudah ada yang menjamin dalam masalah rizqi, sehingga dengan mudah engkau dapat menghindar ke akhirat.

b. Maqam Asbab adalah selalu di kuasai oleh asbab(cara-cara interaksi dengan sesama), maksudnya di manapun ia bergerak, ia tidak bisa menghindar dari asbab tersebut.atau bisa di istilahkan dengan Hablun min an-nas.

Ciri-cirinya adalah dirimu adalah punya tanggung jawab terhadap kehidupan orang lain, sehingga harus memikirkan keberlangsungan kehidupan mereka.

engkau harus tahu situai dan posisi apa yang sedang Allah SWT tempatkan padamu. Ingatlah sekarang Allah sedang memposisikan dirimu di maqam asbab. Buktinya ia bebankan padamu tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Apabila kau berpaling dari posisi ini, ingat engkau sedang melakukakan ta’at secara lahiriyyah, tetapi sebenarnya kau mengikuti hawa nafsumu, agar kelihatan zuhud dan sufi di mata orang lain. Dan ini adalah kesalahan besar dan bahaya dalam syari’at agama Islam. Adapun metode dan sistem semestinya engkau harus tahu apabila Allah menjadikan dirimu pemimpin keluarga berarti artinya Dia telah memberikan tanggung jawab urusan keluarga padamu. Artinya engkau tidak bisa bermuamalah dengan Allah atas dasar keadaan dirimu sendiri saja, tapi kamu perlu memperhatikan kahidupan istri-istri dan anak-anakmu. Dengan kata lain, apabila engkau menyangka dirimu telah percaya penuh dengan pembagian Allah SWT sehingga kau konsen penuh untuk beribadah dan meninggalkan dunia, lalu kenapa engkau paksa istri dan anakmu untuk menjalankan kepercayaan itu? Dan untuk menjalankan zuhud yang kau inginkan itu?

Katakan pada orang ini : “Allah SWT telah menempatkan di antara dua piringan timbangan syari’atNya. Firman Allah SWT :

وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ . أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ.

  7. Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan). 8. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. 9. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

 Ingatlah! hidup ini untuk keluargamu bukan untuk dirimu sendiri, dan yang dapat mengatur perjalanan agamamu adalah ketentuan syari’at-Nya. Sementara syara’ menyuruhmu untuk mempersiapkan-semampumu- kehidupan yang layak bagi keluargamu, dan untuk mendidik putra-putrimu lahir dan batin dengan didikan yang baik lagi sempurna. Apabila engkau berpaling dari asbab ini, itu artinya kau telah berbuat buruk dan su’ul-adab kepada allah SWT. Karena kau telah berpaling dari aturan-aturan(Sunnatullah) yang semestinya.  

Dan ingatlah! mematuhi perintah-perintah ini adalah ibadah bagimu, itu adalah tasbih dan tahmidmu.

Yang perlu di perhatikan, ta’at dan ibadah itu tidak tertentu hanya pada amalan-amalan khusus saja, lalu bila tidak melakukan amalan-amalan itu ia di sebut materialistis (bersifat duniawi).

 Tapi semua amal kebaikan itu ibadah, apabila ada niat dan tujuan Allah SWT tergantung situasi dan kondisi. 

تنوعت اجناس الأعمال بتنوع واردات الاحوال

  “Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia”

Oleh karena itu, amal shalih bagi orang yang tidak ada hubungan dengan masyarakat dan jauh dari tanggung jawab(seperti santri) itu adalah ibadah yang kembali pada dirinya seperti sholat, puasa, dzikir dan lain-lain. 

  وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ – اي التسبب والاكتساب – مَعَ إِقَامَةِ الْلَّهُ إِيَّاكَ فِيْ الْتَّجْرِيْدِ – اي بأن يسرلك القوة من حيث لا يحتسب وجعل نفسك مطمئنة عند تعذره متعلقة بمولاها ودمت علي الاشتغال بوظائف تعالي العبادات – انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ – لارادتك الرجوع الي الخلق بعد تعلق بالحق ولولم يكن الا مخالطة أبناء الدنيا فيماهم فيه لكان كافيا في دناءة الهمة  

 Sedangkan keinginanmu untuk selalu berkecimpung di dalam maqom al-asbab ) sebab dan musabab pekerjaan.sedangkan Allah menempatkanmu pada maqom at-tajrid  intinya allah telah memudahkanmu dalam bentuk kekuatanmu untuk mengerjakan sebab dan menerima akibat dari sumber yang tidak disangkanya dan allah juga yang telah menjadikan kamu seorang yang tenang ketika sulitnya atau berkurangnya kekuatan pada dirimu namun dirimu tetap bergantung pada allah semata dan dirimu tetaplah seorang yang melanggengkan diri pada semua ketetapan dari allah swt adalah ibadah itu adalah satu penurunan dari pada himmah ( pemikiran yang tinggi ) karena sebab keinginanmu kembali bergantung pada mahluk setelah bergantung dirimu pada allah.walaupun adanya dirimu itu tidak mencampur ketetapan dunia di dalam perkara yang telah di tetapkan allah dalam masalah ini . karena dalam masalah ini keadaanmu terpenuhi oleh sebab jelek-jeleknya tujuanmu.

dengan kata lain Ada sebagian orang yang sudah tidak memerlukan lagi mencari rizki karena dia tidak mengurusi keluarga dan orang lain dan sudah di anugrahi Allah kecukupan rizki, maka dia harus menggunakan waktunya untuk mencari ilmu, ibadah dan dzikir (mengingat Allah).disini syeikh Ibnu Athoillah menyarankan untuk tidak terjun masalah duniawi karena itu akan menurunkannya dari cita-cita luhur.Apabila engkau ingin bermalas-malasan karena telah percaya pada hartamu, lalu kamu hanya makan, minum dan tidur sampai kamu mati, ini artinya kahidupanmu seperti hewan. Adapun jika kamu ingin mempelajari agama-Nya dimana karena kamu telah kecukupan dalam segi materi, maka inilah metode terbaik dan paling tepat bagi orang yang memiliki cita-cita luhur. Itu di karenakan ketika Allah SWT menjauhkan dirimu dari tanggung jawab, itu berarti Allah menempatkan dirimu pada maqam tajrid.

Apabila orang ini berkata : “Tapi bekerja kan juga ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT ……dan sabda Rasul…. ?”.

 Maka ketahuilah! bahwa gejolak jiwa yang menggodanya ini adalah rayuan syaitan dan itu hanyalah penurunan dari derajat yang tinggi 

Jika perkataan ini benar perintah ketuhanan, itu berarti kita akan menyalahkan perbuatan para santri-santri yang mondok diberbagai pondok. Yaitu para pemuda yang di tempatkan Allah pada maqam tajrid dan bebas dari beban asbab lalu mendarmakan hidupnya untuk mempelajari agama Islam dan hukum-hukumnya. Para pemuda-pemuda ini selama belum memiliki beban tanggung jawab keluarga atau masyarakat, dan mereka masih tetap dan semangat belajar ilmu-ilmu agama Islam, maka kita menganggap mereka adalah orang-orang besar dan orang-orang yang lebih di antara manusia,kita mengharap turunnya rahmat Allah bertawassul dengan mereka.

 Dari sini kami dapat menyimpulkan bahwa syara’ itulah yang menjadi barometer seorang apakah dia ada di maqam tajrid atau asbab?. Apabila sampai melewati ketentuan-ketentua syari’at demi mengikuti keinginan dan kesukaan hatinya, maka akan terjebak dalam kondisi yang disebut syahwat yang samar (الشهوة الخفية), atau turun dari cita-cita tinggi (انحطاط عن الهمة العلية).ini adalah kelalaian diri. 

================================================================

Yang di maksud dengan :

 Al-Tajrid : Berarti seseorang yang tidak lagi bimbang sedikitpun di dalam hatinya akan janji-janji yang telah di tetapkan allah itu bergantung pada sebab dan akibat , karena seseorang itu telah mencapai martabat tawakkal yang tertinggi (tajrid).

  AL-ASBAB : sesuatu yang menjadi sebab dan akibatnya (wasilah) seorang Murid / salik sampai di sisi allah swt yaitu pencapaian puncak di dunia ini dengan perkara yang selain allah.Umpamanya mencari rezeki yang halal melalui dagang dan bekerja yang diridhoi Allah. jadi Usahahnya itu adalah sebab rizkinya itu adalah akibat padahal allah itu tidak butuh itu semuanya.

================================================================

Seperti firman allah dalam alqur’an : 

وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱلْحَىِّ ٱلَّذِى لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِۦ ۚ وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (Al-Furqan ayat 58)

 وَمَا لَنَآ أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى ٱللَّهِ وَقَدْ هَدَىٰنَا سُبُلَنَا ۚ وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَىٰ مَآ ءَاذَيْتُمُونَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُتَوَكِّلُونَ

 Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu, berserah diri ( Ibrahim -12)

 وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman (al maidah 23)

Dalam hal ini Para Nabi-nabi dan para ‘arifin telah mengumpulkan dalam mufaqatnya bahwasanya dalam hal wajibnya bertawakkal kepada allah bagi semua mahluk yang Hidup .karena setiap Mahluk itu pastilah bergantung kepada allah dan sangatlah di wajibkan dalam setiap Usahanya itu haruslah bergantung pada allah bukan pada selain allah (sebab-akibat ) karena allah itu maha meliputi pada hasil akhirnya bukan menilai pada sebab dan akibatnya.

Tawakkal adalah bagian dari syari’at islam, karenanya setiap orang diperintahkan untuk bertawakkal. Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Sehingga dijumpai banyak ayat-ayat yang secara langsung menggunakan kata yang berasal dari kata tawakkal.

1 .Ayat-ayat yang menyebutkan Tawakal merupakan perintah Allah SWT.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an ;

وَإِن جَنَحُواْ لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ( QS. Al Anfaal : 61 )

Diayat lain Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman :

وَلِلّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.( QS. Huud : 123 )

Firman Allah :

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ

Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, (QS. Asy Syu’arra : 217)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ

Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata.(QS.An Naml:27 )

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا

dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (QS.Al Ahzab : 3 )

وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ وَدَعْ أَذَاهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا

Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.(QS.Al Ahzab : 48 )

2.Ayat yang membicarakan tentang larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong): Allah berfirman (QS. 17:2)

وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلاَّ تَتَّخِذُواْ مِن دُونِي وَكِيلاً

Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku,( QS. Al Israa’:2 )

3.Orang yang berimana hanya bertawakkal kepada Allah.

Allah berfirman :

إِذْ هَمَّت طَّآئِفَتَانِ مِنكُمْ أَن تَفْشَلاَ وَاللّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal.(QS.Ali Imran : 122) 

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

إِن يَنصُرْكُمُ اللّهُ فَلاَ غَالِبَ لَكُمْ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَن ذَا الَّذِي يَنصُرُكُم مِّن بَعْدِهِ وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكِّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal. (QS. Ali Imran “ 160 )

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُواْ إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan ni’mat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min itu harus bertawakkal.(QS.Al-Maidah :11 ) 

 

قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللّهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِي مِلَّتِكُم بَعْدَ إِذْ نَجَّانَا اللّهُ مِنْهَا وَمَا يَكُونُ لَنَا أَن نَّعُودَ فِيهَا إِلاَّ أَن يَشَاء اللّهُ رَبُّنَا وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.( QS. Al A’raf : 89 )

 TAWAKKAL Adalah Keyakinan yang terakhir inilah yang paling tinggi dan yang dikehendaki dari setiap orang ber-iman.Keyakinan ini merupakan pangkal atau fundamental pijakan kita menuju Allah SWT.  Keyakinan yang tinggi digambarkan sebagai keyakinan yang mutlak dan bulat yang tak dapat diganggu, tak dapat digoyahkan, bagaikan bola besi (bukan seperti bulat bola pingpong yang kalau dipukul keras bisa pecah atau benjol). seperti firman allah.

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah : 51 )

 Keadaan atau kondisi semacam ini akan menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat pada mereka yang memilikinya; dengan perkataan lain kondisi ini akan membuahkan berbagai kebaikan (khoiran), kemenangan, keberuntungan, kejayaan, rahmat, ampunan, keberkahan, kebahagiaan dunia dan akhirat.

Hal kedua yang harus ditekankan ialah kepasrahan kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Kepasrahan seperti apa yang dikehendaki oleh Allah yang Maha Rahman ?

Jawabnya adalah Kepasrahan total tanpa syarat atau tanpa serep (reserve), bukan kepasrahan basa-basi atau kepasrahan seorang penjahat kepada polisi, setelah si penjahat tsb terpaksa menyerah karena tak ada daya lagi untuk lolos alias terpojok.

Yang diinginkan oleh-Nya adalah kepasrahan dengan sukarela dan hanya kepada-Nya saja, bukan kepada yang lain (ikhlas). Kepasrahan ini bagaikan kepasrahan seorang bayi dalam pelukan ibunya, ia tidak memikirkan apa yang bakal terjadi pada dirinya; semuanya milik Allah, terserahlah kepada-Nya saja. Kepasrahan juga berarti tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya, kepada petunjuk-Nya, kepada kodrat-Nya dan iradat-Nya.

 Hal ketiga yang perlu ditekankan adalah keharusan untuk berbudi pekerti atau berakhlak yang luhur. Dalam Islam hal ini digambarkan dengan wudhu perbuatan yang tidak boleh batal dalam kehidupan sehari-hari. Ketika batal wudhu dengan mudah kita berwudhu lagi, tetapi ketika perbuatan kita yang tercela, berlumur dosa, semisal menyakiti saudara kita tanpa alasan yang pantas, sukar sekali memulihkannya. Dalam hal itu kita membuat dua dosa / kesalahan, kepada orang itu langsung dan kepada Allah. Dalam Hadis nabawi di jelaskan 

 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَه

 Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘BISMILLAHI TAWAKKALTU ‘ALAALLAHI LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH (Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah). ‘ Beliau bersabda: “Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata, “Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan dan penjagaan.”

  عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَى عَنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدْ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ

 “Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zhalim dan perbuatan zhalim itu pun Aku haramkan diantara kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu saling berbuat zhalim! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kesesatan, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Oleh karena itu, mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan. Oleh karena itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan! Hai hamba-Ku, kamu sekalian telanjang dan tidak mengenakan sehelai pakaian, kecuali orang yang Aku beri pakaian. Oleh karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu pakaian! Hai hamba-Ku, kamu sekalian senantiasa berbuat salah pada malam dan siang hari, sementara Aku akan mengampuni segala dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya aku akan mengampunimu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mara bahaya sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Selain itu, kamu sekalian tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta manusia dan jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan yang paling tinggi, maka hal itu sedikit pun tidak akan menambahkan kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada tingkat kedurhakaan yang paling buruk, maka hal itu sedikitpun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan. Hai hamba-Ku. sesungguhnya amal perbuatan kalian senantiasa akan Aku hisab (adakan perhitungan) untuk kalian sendiri dan kemudian Aku akan berikan balasannya. Barang siapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu (kebaikan), maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.”

Dua kategori manusia dalam konteks pencarian hidup di dunia :

1- Manusia yang ditentukan Allah pada martabat al-Asbab : Golongan ini bekerja mencari rezeki yang halal.Mereka pada kedudukan ini tidak boleh berhenti bekerja karena bekerja itu sendiri adalah suatu ibadah.Mereka yang meninggalkan pekerjaan semata-mata untuk beribadah kepada Allah yang sebenarnya sedang dirasuk oleh nafsu atau syahwat yang tersembunyi dan memperdayanya.

2- Manusia yang ditentukan Allah pada martabat Tajrid : Dalam tingkatan ini adalah semata-mata anugrah Allah yang tertinggi kepada siapa saja yang dikehendakiNya.Penghidupannya dipermudahkan oleh Allah sehingga dia tidak perlu bersusah payah dan bimbang serta ragu-ragu lagi dengan urusan mencari  Bekal  hidup yang berhubungan dengan kebendaan.Malah yang banyak rizki pula yang datang kepadanya karena itu telah yaqinakan janji yang di tetapkan allah kepadanya.

Golongan yang kedua ini walaupun mereka bekerja tetapi pekerjaan tidak mengganggu pemikiran dan tumpuan kepada allah swt dan dalam hatinya hanyalah allah yang menjadi sebab dan akibat berhasilnya semua urusan duniawi dan ukhrowinya . 

Pencapaian Murid dan salik dalam melalui (keluar) dari tahap – tahap kemauan dan harapan atau al-Irodah :

1- Irodah al-Tab’iy yaitu kemauan nafsu yang rendah dan keluar daripada kehendak ini adalah wajib.

2- Irodat al-Tamanni yaitu kemauan orang-orang yang bertawajjuh atau menuju pencapaian diri kepada keridhoan Allah dengan dirinya.

3- Irodah al-haq yaitu kemauan orang yang ikhlas yang hakikatnya membersihkan diri daripada kecintaannya pada yang selain Allah yaitu semua perkara yang dianggap najis syirik yang jali ( terang ) dan syirik yang khofi ( tersembunyi ). 

 TAJRID bagi ahli al-thoriq : menghilangkan keakuan hati dan sirr dan itu merupakan martabah yang tinggi.

1- Orang yang mencapai martabah khowas tidak wajar turun ke martabat awam.

2- Asbab itu bagi orang ahli Bidayah yang menjalani jalan ahli al-tawajjuh yaitu orang yang bergantung perhatian dan pengharapannya kepada keridhoan Allah.

3- Tajrid adalah ahli al-muwajahah (berhadapan) yang sampai kapada allah atau mereka yang tenggelam dalam kemesraan dan ke’asyikan jiwa mereka dalam maqom tauhid muthlaq.Mereka itu sering disebut ahli al-jazb yang tenggelam dalam kefana`an diri yaitu dia yang lebur dalam Ikhathoh,ma’iyah dan kedekatan yang sesungguhnya pada kebesaran Allah semata sehingga tiada yang ada kecuali allah semata.

 Ada pemuda yang di perintah oleh ayahnya : “Aku akan mengurusi dan memenuhi segala keperluanmu, yang aku kehendaki kamu Cuma konsentrasi mempelajari kitab Allah dan syari’at-Nya!” Maka santri ini oleh Allah SWT telah di tempatkan di maqam tajrid. Oleh karena itu dia dituntut untuk melakukan hal yang sesuai dengan maqamnya, yaitu mempelajari al-Quran dan ilmu syri’at.

 Orang seperti ini tidak boleh dikataan : “Syara’ memerintahmu untuk mencari rizqi dan mencegah untuk melakukan pengangguran”. karena yang diperintahkan syara’ untuk pergi ke pasar dan mencari rizqi itu adalah orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab seperti orang tua dan para pejabat. Adapun orang yang telah di beri Allah SWT kebutuhan rizqi, seperti santri maka di dia syari’atkan tidak mencari rizqi. Yang di larang Syara’ adalah jadi pengangguran padahal santri bukan menganggur tetapi waktunya di alihkan dari maqam asbab(cari rizki) ke maqam tajrid (mempelajari agama).

Untaian Hikmah Ibnu Atha'illah Assakandari ( 1 )



مِنْ عَلاَماَتِ اْلاِعْتِماَدِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصاَنُ الرَّجاَءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

“Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.”

Tidaklah mudah melepaskan diri dari keterikatan hati pada apa yang kita kerjakan. Kita bahkan sering memenuhi pikiran dan perasaan kita dengannya. Bukan hanya saat mengerjakan, tetapi terlebih sesudahnya. Tentu ini karena kita ingin sempurna melewati semua proses kerja (amal) hingga akhir. Akhirnya, tanpa kita sadari, kita lupa menempatkan Allah dalam perbuatan dan tindakan kita. Firman Allah Swt., “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya...??? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53 : 24 – 25). Padahal, kita mestinya “melibatkan”-Nya sejak awal agar apa pun hasilnya tidak mengubah kedudukan kita di sisi-Nya. Maka, bekerja keraslah sembari tetap beribadah. Beribadahlah dengan benar dan ikhlas, maka bekerja pun menjadi lepas. Bila tergoda, senantiasa luruskan niat.

Agar sesuai dengan haluan dalam kehidupan dunia ini, manusia dipandu oleh dua hal; al-Kitab dan as-Sunnah. Rasul Saw. mengajari kita bahwa tak seorang pun masuk surga karena amalnya. Saat beliau ditanya, “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah...???” Jawab beliau, “Tidak pula saya. Hanya saja Allah melingkupiku dengan rahmat-Nya.” Permasalahannya sejak awal hingga akhir intinya adalah rahmat Allah Swt. Firman Allah, “Wahai para hamba-Ku, masuklah kalian ke surga berkat rahmat-Ku dan berbagilah dengan amal perbuatan kalian.”

Jika manusia hanya melihat pada amalnya, ia akan berkata, “Saya telah melaksanakan shalat.” Demi Allah, berapa banyak shalat yang diterima...??? Allah Swt. tidak menerima semua shalat. Dalam hadits qudsi disebutkan, “Aku hanya menerima shalat dari orang yang merendahkan diri pada keagungan-Ku, tidak menyakiti makhluk-Ku, tidak terus-menerus bermaksiat terhadap-Ku, serta mengasihi janda, orang miskin, dan ibnu sabil. Ia akan Aku jaga dengan pertolongan-Ku dan Aku minta para malaikat-Ku menjaganya. Perumpamaannya bagi-Ku adalah seperti Firdaus.” Jadi, orang yang sombong shalatnya tidak diterima. Yang tidak mengasihi manusia tidak dikasihi oleh Tuhan manusia. Orang yang merusak harga diri manusia Allah Swt. tidak menerima shalatnya. Persoalannya bukanlah keyakinan seseorang bahwa ia telah mengerjakan shalat. Akan tetapi, berapakah shalat yang diterima...??? Dan berapakah shalat yang tidak diterima...??? “Saya menunaikan zakat.” Allah-lah yang telah memberikan harta. “Saya melaksanakan shalat malam. Allah-lah yang menakdirkanku.” “Saya berpuasa pada siang hari. Allah-lah yang memudahkanku.” “Saya menunaikan ibadah haji ke baitul haram. Allah-lah yang telah memberikanku harta dan kesehatan. Dan Ia tidak memudahkan bagi orang lain.” Jadi, persoalannya adalah bahwa manusia tidak pernah bergantung pada perbuatannya. Akan tetapi bergantung pada keutamaan Allah Azza wa Jalla.

Yang dikatakan Ibnu Atha’, “Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.” Setiap anak Adam pasti mempunyai kesalahan. Andaikata kita tidak pernah melakukan kesalahan, Allah Swt. akan melenyapkan kita dan mendatangkan manusia-manusia yang melakukan kesalahan kemudian mereka memohon ampunan, lalu Allah Swt. mengampuni mereka semua. Manusia yang melakukan dosa paling besar adalah yang mengatakan pada dirinya, “Sesungguhnya dosaku lebih besar daripada ampunan Allah.” Tidak ada yang lebih besar dari ampunan Allah Swt. Ampunan Allah Swt. bisa menghapus seluruh dosa-dosa. Dia-lah yang Maha Pemaaf, Maha Pengampun, Yang menyukai orang-orang yang bertaubat. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.” Allah Swt. tidak mengatakan bahwa Allah Swt. mencintai orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, tidak pernah berbuat salah sama sekali. Akan tetapi, Allah Swt. mencintai orang-orang yang bertaubat, yakni banyak berbuat dosa dan banyak bertaubat; berkeinginan kembali kepada Allah Swt. Tiap kali ia berbuat dosa – tentu ini adalah salah – , ia kembali kepada keridhaan dan kelapangan Allah Swt. Seperti halnya Nabi Shaleh as. yang berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, Engkau adalah Engkau, sedangkan aku adalah aku. Aku adalah orang yang selalu kembali berbuat dosa, sedangkan Engkau adalah Dzat yang selalu kembali memberikan ampunan, maka ampunilah aku.” Allah Swt. berfirman, “Hamba-Ku telah mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa-dosa. Saksikanlah, wahai para malaikat-Ku, bahwa Aku telah mengampuninya.”

Di dunia ini manusia tidak bisa bergantung pada amal perbuatannya. Ia wajib ikhlas dalam beramal. Sebuah hikmah berkata, “Andaikata makhluk tidak diciptakan, dan andaikata saat mereka diciptakan mengetahui kenapa mereka diciptakan. Allah berfirman, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” Dan andaikata saat mereka mengetahui kenapa mereka diciptakan, mereka melakukan apa yang mereka ketahui. Dan andaikata mereka melakukan apa yang mereka ketahui, mereka berbuat ikhlas dalam melakukan apa yang mereka ketahui.” Jadi, persoalannya yang pertama dan terakhir adalah keikhlasan, jauh dari sifat pamer, jauh dari sifat bangga diri, dan menghindari membicarakan kebaikannya pada orang lain. Ia harus ikhlas dalam beramal.

Di dalam keikhlasan terdapat tiga rahasia; tidak ada malaikat yang mengetahuinya sehingga ia bisa menulisnya; tidak ada setan yang bisa melihatnya, sehingga ia bisa merusaknya; tidak pula hamba itu sendiri bisa melihatnya, sehingga ia bisa tertipu dengannya. Bahkan sebaliknya Allah Swt. akan membalik orang yang berbuat ikhlas menjadi orang yang dijadikan ikhlas (dimurnikan). Ia masuk ke dalam kelompok orang-orang yang benar. Firman Allah, “Sesungguhnya ia termasuk para hamba Kami yang mukhlas (dijadikan ikhlas).” Setan berkata, “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas di antara mereka.” Setan tidak akan mampu menguasainya. Rasul Saw. bersabda, “Wahai Ibnu Khattab, setan tidak melihatmu melalui suatu jalan, kecuali ia akan melalui jalan yang lain.” Maka seorang hamba yang muslim, beriman, dan bertakwa tidak boleh mengandalkan amal perbuatannya. Karena itu Ibnu Atha’ berkata, “Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.” Yakni, pada saat seseorang berbuat salah, banyak berbuat dosa, atau melampaui batas, ia berputus harapan akan diterimanya taubat. Kata orang shaleh, “Wahai Tuhanku, harapanku terhadap-Mu pada saat berbuat dosa lebih dekat daripada harapanku kepada-Mu ketika beramal. Sebab aku mengandalkan diriku saat beramal, karena terhadap kesalahan-kesalahan aku sungguh perlu dikasihani. Sedangkan dalam persoalan dosa aku sungguh mengandalkan ampunan-Mu, sebab Engkau terkenal dengan Maha Pemurah.” Allah Swt. terkenal dengan sifat pemurah-Nya; Ia melapangkan tangan-Nya pada malam hari supaya orang yang berbuat dosa pada siang hari bisa bertaubat. Dan Ia melapangkan tangan-Nya pada siang hari supaya orang yang berbuat dosa pada malam hari bisa bertaubat. Ingatlah kisah orang yang membunuh sembilan puluh sembilan orang kemudian disempurnakan menjadi seratus orang. Ia pun pergi ke tempat orang-orang yang taat saat ditunjukkan oleh seorang alim agar berpindah dari tempat orang-orang yang berbuat maksiat ke tempat orang-orang yang taat. Pada saat berada di tengah perjalanan ia pun meninggal dunia. Namun dadanya lebih mendekat ke arah tanah orang-orang yang taat, maka masuklah ia ke dalam rahmat Allah Swt. Karena itulah, saat seseorang berbuat salah, saat seseorang berbuat dosa, saat ia melampaui batas, ia tidak boleh berputus asa dari ampunan Allah Swt. Sebaliknya, ia harus benar-benar yakin bahwa Allah Swt. mencintai seorang hamba yang bertaubat ini. Orang yang tulus bertaubat lebih disukai oleh Allah Swt. daripada orang sombong yang bertasbih. Penyesalan kita terhadap dosa itu lebih baik daripada melakukan shalat dalam keadaan berbangga diri. Kita tidak bisa mengambil faidah dari berbangga diri. Berbangga diri adalah termasuk salah satu dosa besar. Ia adalah sebuah musibah. Saat kita membanggakan amal kita, apa yang kita peroleh...??? Kita akan memperoleh hapusnya pahala. Na’udzubillah min dzalik. Akan tetapi, jika seorang hamba menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya, kedua matanya berlinang air mata, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt., mata yang tunduk dari apa yang diharamkan oleh Allah Swt., mata ini tidak akan tersentuh oleh api neraka dengan izin Allah Swt.

Saat seorang hamba berbuat dosa, pada dirinya terdapat kehinaan di hadapan Allah Swt., pada dirinya terdapat kelemahan, di dalam perasaannya ia merasa telah berani terhadap Allah Swt., perasaan bahwa ia tidak memposisikan Allah Swt. dengan benar, pada saat itu ia menyesal dan bertaubat kepada Allah Swt. Seorang hamba harus bercermin, andaikata ia hanya mengandalkan amal perbuatannya, maka sayang sekali pengandalan ini bukanlah pada tempatnya. Pertama kali kita harus mengandalkan keutamaan Allah Swt., kemurahan Allah Swt., maaf dari Allah Swt., dan mengandalkan anugerah-anugerah Allah Swt. yang diberikan kepada kita. Inilah andalan kita yang sebenarnya. Sedangkan amal perbuatan hanyalah perantara. Kita memang harus beramal, karena amal yang menilai kehidupan manusia, hingga Umar ra. berdoa, “Ya Allah, aku minta amal yang paling ikhlas dan paling benar.” Beliau ditanya, “Apa yang paling ikhlas dan paling benar, wahai amirul mukminin?” Beliau menjawab, “Yang paling ikhlas adalah yang murni karena Allah Swt., sedangkan yang paling benar adalah yang berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah.” Kita tidak boleh membuat-buat suatu amal dari diri kita sendiri. Siapapun yang membuat-buat yang baru pada agama kita ini, maka ia tertolak.

Harapan kita terhadap Allah Swt. janganlah berkurang sedikit pun, namun sebaliknya kita harus berdiri di depan pintu Allah Swt. yang tidak ada pintu dan penjaganya. Dan katakanlah, “Wahai Tuhanku.” Maka Tuhan para hamba itu lebih dekat daripada urat nadi.

 

Siapa Syeikh Ibnu Atha'illah Assakandari....??????

Pada kesempatan ini, saya akan share biografi seorang Ulama terkenal yakni SYEIKH IBNU ATHA'ILLAH AS-SAKANDARI. Awalnya saya mendengar nama beliau adalah karna banyaknya kitab2 ulama yang menyertakan petikan2 mutiara hikmah yg pernah disampaikan oleh SYEIKH IBNU ATHA'ILLAH AS-SAKANDARI, dan temen2 yg sering mengutip nasihat nasihat beliau..... Setelah semakin penasaran, saya akhirnya mencari referensi tentang Beliau, dan alhamdulillah dapatlah saya membaca kitab yg sangat terkenal karangan beliau yakni Al-Hikam.... Berikut adalah biografi SYEIKH IBNU ATHA'ILLAH AS-SAKANDARI....

Sebelumnya saya pernah share beberapa nasihat dan petuah dari SYEIKH IBNU ATHA'ILLAH AS-SAKANDARI di posting2 sebelumnya.....

Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,

... dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:

Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau". Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya".

Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya :

“"Aakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan :

"Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’.

Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga". Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: "Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka".

Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata:

"Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan".

Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :

"Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah".

Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab "Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro".

~Karya~
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

~Karomah Ibn Athoillah~
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak".

Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya".

~Wafat~

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar SYEIKH IBNU ATHA'ILLAH AS-SAKANDARI yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro